Tepat pukul 00.30 aku terbangun. Sayu-sayu aku mendengar tangisan seorang bayi yang tak salah lagi itu suara adikku Dhuran. Tangisnya begitu keras sampai-sampai menembus dinding telingaku yang masih tersumbat headset. Kucoba tuk tetrap terpejam mencoba kembali ke alam imajinasiku. Tapi suara tangis itu membuatku beranjak. Ku tegakkan badanku, duduk di kasur empukku sesaat menatap ke arah jendela besar yang ada di ujung kamarku. 10 menit berlalu keadaan di luar kamar semakin ramai, yang awalnya hanya suara tangisan sekarang harus berduet dengan pertengkaran dua manusia yang tak salah lagi itu bapak dan ibu. Aku terdiam dan coba memahami apa yang terjadi, tp pertengkaran itu tak kunjung reda. Suara tangis Dhuran membuatku tak bisa hanya dian di ruangan biruku ini. Kehadiranku tak membawa arti apapun. Aku hanya bisa terdiam diantara bapak dan ibu, dan pertengkaran itupun semakin menjadi. Aku bingung apa yang bisa kulakukan. Bapak menyudahi pertengkaran ini dan kembali ke kamar tidurnya seraya melontarkan kalimat pendek yang bukan berarti penyelesaian yang membawa perdamaian. Aku masih diam terpaku, bibir ibu terus mengeluarkan kalimat-kalimat yg tak bisa kuingat. Aku merasa iba melihat keadaan ibu yang harus bersusah payah menjaga dan menenangkan Dhuran yang saat itu sedang sakit. Ku temani ibu ke kamar dan bekiau mulai mengungkap keluh kesahnya. Menceritakan kronologis kejadian sebelum aku memperparah suasana dan dengan diiringi tangisan Dhuran yang tak henti-henti. Sesekali aku mencoba menghibur Dhuran tapi dia tak pernah hiraukan aku. Lantunan lirik keluh kesah ibu terus mengalir, melengkapi suasana hatiku dengan kepedihan. Saat itu aku tak bisa berpikir apa-apa, aku hanya bisa menemani ibu dan mencoba mengurangi bebannya. Satu jam berlalu dan Dhuran belum juga tenang. Air mataku pun mengalir, au tertunduk mencoba untuk tegar menghadapi semua ini. Memang dalam tiga tahun ini keluargaku sedang diberi cobaan baik sisi ekonomi maupun hubungan keluarga. Tak sadar melangkahkan kakiku menuju kamar biruku dan kuraih HP ku yang tergeletak. Sepatah kata kukirimkan ke kakakku (bukan kakak kandung).
Aku tersentak. Apa yang aku lakukan? Ini bukan saatnya aku SMS. aku kembali ke kamar ibu, kulihat wajahnya yang letih,sedih. Kudekati dan kucoba tanyakan keaadaannya. Beliau hanya diam dan menangis. Hatiku bagai terbakar, sesaat nafsu amarah menguasaiku dan ingin sekali kutumpahkan ke bapakku. Tapi aku tau bukan itu yang kuinginkan. Kucoba memikirkan cara agar keluargaku bisa kembali harmonis. Tapi tak satupun cara kudapatkan. Aku merasa tidak berguna.
Tepat pukul 04.30 Dhuran sedikit tenang dan terlelap di dalam hangatnya pangkuan ibuku. Kulihat ibu sudah tak bisa menahan rasa lelahnya setelah menangis berjam-jam. Kutinggalakn mereka berdua, dan menutup pintu kamar. Sejenak aku termenung. Kuraih buku catatan berwarna colat dan bolpoin kesayangan. Di sinilah aku menangis. Di sinilah aku bisa mengungkap semua. Di sinilah aku bisa berkata. dan terakhir aku hanya bisa berdoa semoga semua bisa membaik setelah aku lulus dari SMK dan mendapat pekerjaan.
No comments:
Post a Comment